Sebenarnya saya jarang buka medsos, paling banter biasanya Facebook karena di sana bisa membuat tulisan agak panjang. Namun, terkadang algoritma aplikasi ini mengarahkan ke (aplikasi) Threads mengenai buku atau perbincangan seputar penerbitan. Mungkin, itu terjadi karena apa yang sering saya cari atau minati. Membuka Threads, sebenarnya jarang juga kecuali seperti tadi, ada “pengarahan” dari aplikasi atau kalau lagi sempat saja.
Saya ingin sedikit cerita di sini, beberapa kali dibawa oleh aplikasi menuju utas tertentu, lucunya saya menemukan kasus-kasus yang unik. Saya lupa sudah beberapa kasus yang hampir sama. Ingat-ingat lagi, kalau kasusnya itu serupa.
Ambil contoh, satu orang penulis ini. Singkat cerita naskahnya diterima di penerbit mayor (dia menyebutnya demikian). Saya tidak akan menyebut nama, tetapi saya akan memberi semacam klu. Penerbit ini memiliki toko buku di berbagai kota besar dengan anak penerbit cukup banyak. Bazar bukunya sering diadakan di kota-kota besar, dan sekarang sedang berlangsung (jadi, kalian bisa pergi ke sana buat berburu, gas Mang!)
Ternyata, salah satu syarat naskah bisa diterbitkan adalah penulis harus siap soal ini: jika buku tidak bisa mencapai 200 eks pemesanan, maka penulis harus membeli sisanya. Memang, penulis tetap mendapat royalti dari hasil penjualannya. Namun, masalahnya bukan soal royalti atau tidak. Coba lihat lagi kasus ini: diminta membeli bukunya! Jika saat PO hanya laku lima buku, berarti penulis wajib membeli 195 eks sisanya. Mantab djiwa!
Ya elah, Mang! Ini mah namanya bukan sistem terbit royalti, ini sama saja dengan sistem terbit yang berbayar. Tak hanya satu kasus, banyak kasus serupa yang terjadi begitu. Utas semacam ini di Threads mendapat banyak komentar yang sama-sama unik. Apa itu?
Mereka mengaku memiliki kasus yang sama. Menarik, kan? Bahkan, banyak dari mereka yang akhirnya lebih menarik naskahnya, kemudian menerbitkan di penerbit-penerbit, yang kata netizen disebut penerbit Indie (mohon maaf, saya memang sudah lama tidak sepakat dengan pembedaan semacam ini, sudah terlalu blur untuk menerapkan indikator pembedanya). Ada juga malah, yang menerbitkannya secara mandiri. Ya, betul! Mereka terbitkan sendiri dan jual sendiri.
Sayangnya, saya lupa untuk mengambil gambar (screenshoot) mengenai topik yang mereka perbincangkan. Lucunya, ada utas maupun komentar yang langsung menyebut nama penerbitnya secara blak-blakan. Itulah mengapa saya bisa memberi klu seperti di atas. Meski saya tidak kenal dengan mereka (yang bisa saya verifikasi langsung kebenarannya), tentu saja saya tidak bisa memastikan kebenaran informasi tersebut. Namun, percaya tak percaya, karena yang mengamini banyak, seolah jadi benar (semoga saja keliru ya, Mang!).
Saya pribadi tidak memasalahkan sistem terbit berbayar, itu sudah biasa. Hanya saja kasus ini membuka mata kita soal dunia buku.
Pertama, ini soal pasar. Lihatlah penerbit yang katanya disebut mayor itu, mereka hanya “menghidup-hidupi” penulis besar saja. Penulis yang lain? Mau terbit di sini? Ya, bayar, Mang! Tak ada yang salah memang, tetapi bukannya agak aneh? Kasihan bagi penulis yang mereka tidak punya uang sama sekali, padahal sistemnya disebut sistem royalti, dan ini adalah buku pertamanya.
Kedua, ini bisa jadi tanda susah lakunya buku. Lihatlah sekelas penerbit besar yang punya toko buku di mana-mana, tetapi justru melakukan hal semacam itu. Padahal, di penerbit kecil yang menggunakan system royalti murni saja, penulis tidak dipungut biaya, kecuali memang penulisnya beli untuk dijual lagi (bahkan, ia punya keuntungan lumayan dari menjual bukunya sendiri). Pemasarannya pun hanya melalui online (jarang yang masuk ke toko-toko buku).
Ketiga, itulah susahnya jadi penulis. Kita perlu pandai-pandainya “survive”. Segala keterampilan yang dimiliki harus kita gunakan. Kita punya ijazah ilmu keguruan. Ya, jadi guru sekaligus penulis. Kita punya ijazah bahasa Inggris, ya jadi penerjemah sekaligus penulis. Kita punya modal ternak kambing, ya ternak sekaligus nulis. Dan seterusnya. Kita harus realistis. Ada keluarga yang harus kita hidupi.
Keempat, dengan ada kabar semacam ini, semua terserah pada diri kita masing-masing. Menurut saya pribadi, mengejar ke penerbit mayor yang disebut tadi tak perlu dijadikan target. Besarkan dulu nama kita melalui karya dan berkarya terus menerus, tak peduli terbit di mana. Tulis, posting, tulis, bagikan, berkarya, bagikan, begitu terus. Jangan lupa berbagi pengetahuan menarik dari apa yang kita tulis yang bisa dibaca orang lain secara gratis melalui kanal media kita. Namun, kalau memang mau tetap mencoba, ya silakan. Keberuntungan itu tidak ada yang tahu. Siapa tahu rezekinya di sana. Tulisan ini hanya ingin berbagi mengenai fakta kecil (atau fakta gelap? – jika memang bisa disebut fakta) di dunia penerbitan di Indonesia. []
Viki Adi N