Pengalaman sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengajarkan bahwa penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Pancasila justru dilakukan oleh penguasa yang menempatkan Islam sebagai ancaman. Belum ada catatan sejarah Indonesia yang menyebut adanya perlawanan rakyat terhadap pemerintah dengan tujuan untuk mengganti Pancasila. Demikianlah, hingga ada Orde Lama dan Orde Baru. Masing-masing penguasa di dua orde ini memanipulasi Pancasila, menjadikan Pancasila sebagai alat pukul ke lawan-lawan politiknya demi mempertahankan kekuasaan.
Menjelang seperempat abad Reformasi, upaya menafsirkan Pancasila untuk kepentingan kekuasaan ternyata masih saja berlangsung. Malah, beberapa tahun terakhir ini kian jelas upaya memaksakan penafsiran subjektif sesuai kepentingan golongan politik, ideologi, hingga oligarki! Dari sinilah hadir agenda kepentingan-kepentingan itu dalam memojokkan umat Islam, yang secara historis justru paling berjasa mendirikan dan menjaga eksistensi NKRI. Alhasil, umat yang semestinya dihormati malah kerap dituding anti-NKRI, anti-kebhinekaan, dan anti-Pancasila. Sebabnya kadang tidak masuk akal, salah satunya karena umat Islam hendak mengamalkan syariat agamanya.
Bicara soal Pancasila, seharusnya kita bersikap jujur dan objektif membuka catatan sejarah. Ia tak lain adalah filosofische grondslag, landasan falsafah negara. Bukan sebagai dasar negara apalagi ideologi negara. Dalam konteks falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia inilah, rumusan yang absah, konstitusional, dan harus menjadi pegangan adalah alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Inilah Pancasila yang sah. Bukan yang lain.
Berdasarkan Dekrit Presiden itu disebutkan: “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Sesuai penjelasan tertulis Perdana Menteri Djuanda kepada Achmad Sjaichu (NU) dan Anwar Haryono (Masyumi), jiwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam sila pertama Panca-sila adalah jiwa Piagam Jakarta. Karena itu, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai sebagai “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dengan begitu, upaya umat Islam untuk memperjuangkan diterapkan syariat Islam dalam koridor NKRI merupakan hak konstitusi yang sejalan dengan rumusan absah Pancasila tersebut. Upaya-upaya untuk memperjuangkan hak konstitusi itu merupakan bentuk panggilan setiap Muslim untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Bukan untuk tujuan merusak apalagi meneror sesama anak bangsa!
Ulasan
Belum ada ulasan.