Menjadi Populer itu Berat

Hal ini sudah jamak diketahui. Menjadi populer memang berat. Ada banyak sisi yang bisa membuatnya demikian. Namun, ada satu sisi yang ingin diangkat di tulisan ini. Kaitannya ialah dengan kesiapan untuk diusik orang lain.

Soal diusik, biasanya soal suka tidak suka. Bisa juga soal iri. Perspektifnya bisa begitu banyak. Misalnya, seorang penulis yang naik daun, dan bertengger di puncak, pengagumnya banyak, tetapi hal sebaliknya juga berlaku. Pembencinya tak satu dua.

Di era terbuka seperti saat ini, pembenci tak lagi ngomong di belakang. Mereka akan menampakkan di depan layar hingga kolom komentar. Artinya, butuh kesiapan besar kalau kita populer, terutama kesiapan mental.

Saya kerap menyaksikan di media sosial, penulis-penulis populer di Indonesia dihujat, diejek, oleh mereka, yang mohon maaf, hanya pembaca saja. Saya tak tahu ia penulis atau bukan karena akun mereka tak jelas. Jadi, kalau mental seorang penulis yang dihujat itu kuat, ejekan semacam itu tak ada gunanya. Apalagi dari mereka yang entah siapa itu. Ini pintar-pintarnya menyaring sesuatu yang berfaedah atau tidak. Sebab bisa jadi, di balik hujatan itu ada pesan tersembunyi yang bisa meningkatkan kapasitas.

Sebaliknya, jika tak tahan, mental tak kuat, bahayanya cukup besar. Ia bisa down, bahkan sampai tak mau menulis lagi. Bukankah ini jelas merugikan diri sendiri? Agaknya, perbendaharaan kata “bodo amat” cukup baik penggunaannya dalam konteks ini.

Contoh tadi masih seputar dunia kepenulisan. Padahal, ihwal ini terjadi di mana-mana, pada aspek apa pun, dan sepanjang kita hidup di dunia. Tak semua orang baik. Tak semua orang buruk. Memang, semua ada saja. Dan, ada-ada saja.

Apa saya pernah mengalaminya? Tentu! Meski saya bukan orang yang populer, tetapi pernah sedikit “mencicipi” masa-masa agak populer itu, ya sebabnya karena tulisan-tulisan dan konsentrasi di suatu bidang pengkajian yang tak banyak orang minati. Untuk itu, tulisan ini dibuat. Saya hanya ingin berbagi. Beruntungnya (mungkin bagi sebagian orang ini dikatakan sebaliknya), semenjak pasca kampus, saya memilih agak menarik diri. Saya berpikir bahwa “panggung” bukan tempat saya bekerja. Sepertinya, ada orang lain yang lebih pas di sana.

Kembali ke topik utama. Setidaknya sampai sini, kita bisa mempersiapkan diri. Mengapa? Ya, karena tidak ada yang tahu. Tiba-tiba, lima menit yang akan datang, tulisan kita dibaca banyak orang, dikomentari ratusan orang, dan seterusnya. Tiba-tiba saja, buku kita banyak yang nyari. Tiba-tiba, postingan kita meledak. Tiba-tiba viewers kita naik. Tak ada yang tahu.

Saya menulis ini, masih dalam konteks kepenulisan, karena saya berharap, kawan-kawan semua terus memiliki rasa semangat untuk menulis, menuangkan pikiran, dan semacamnya. Meski tak ada yang tahu kapan tulisan itu meledak, kapan buku itu berpengaruh pada isi kepala dan dada orang. Pun tak masalah jika tak meledak, siapa tahu ada satu dua orang yang ternyata mengambil manfaat dari apa yang kita tulis.

Selamat membaca di akhir pekan. Dan jangan lupa menulis. []

 

Viki Adi N

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *