Melihat Lebih Jernih Kitab Tahafut & Imam al-Ghazali

Ketika masih mahasiswa semester awal, saya agak menjauhi filsafat. Mungkin judul (arti dari) “Tahafut” telah meredam niat untuk mendekati, atau malah saya pribadi yang enggan (di era mahasiswa saya lebih suka buku bertema gerakan). Waktu itu, saya punya buku yang versi Marja. Saya baca saja, otak saya agak nggelempang, pusing dan bingung. Apa ini karena terjemahannya? Saya tutup bukunya.

Sekian waktu, saya punya yang versi Forum. Saya baca lagi. Masih belum masuk juga. Perlu dicatat, saya tidak pernah membaca buku filsafat lainnya selain Tahafut.

Lucu kan? Sangat lucu dan naif. Padahal, buku Tahafut al-Falasifah adalah buku untuk menunjukkan kerancuan pemikiran dari para filsuf (yang dimaksud Imam al-Ghazali di sini filsafat Aristotelian, di dunia Islam khususnya Ibnu Sina), yang secara berurutan seharusnya saya membaca buku para filsuf yang dikritik oleh al-Ghazali.

Setelah melewati masa aktif di gerakan mahasiswa, saya baru mulai mendaras buku-buku filsafat, baik Barat, Timur, maupun Islam.

Di tahun 2024, Diva menerbitkan Tahafut al-Falasifah dengan menambahkan anotasi. Menarik. Ini paling menarik. Untuk kesekian kali membaca Tahafut, saya mulai agak memahaminya.

Kalau dilihat-lihat, ternyata ini bukan hanya soal terjemah kalau ingin memahami Tahafut. Beberapa poin ini mungkin bisa turut membantu.

Pertama, kita perlu membaca pikiran para filsuf yang dikritik Imam al-Ghazali. Memang, ini butuh waktu. Jika ingin agak memangkasnya, rangkuman pemikiran mereka (filsuf yang akan dikritik) sebenarnya sudah ditulis oleh Imam al-Ghazali sebagai kitab “pendahuluan” sebelum menulis Tahafut, judulnya: Maqashid al-Falasifah (sudah diterjemahkan Turos: Pengantar Filsafat, atau Diva: Pokok-pokok Filsafat). Memang agak aneh, dari dulu terjemah Tahafut sudah beredar, tetapi kitab “Pendahuluan”-nya malah belum.

Kedua, selain membaca pikiran yang akan dikritik, jika kita belum mengerti tentang filsafat, itu juga membuat kita perlu belajar tentang filsafat. Artinya? Kitab Tahafut tidak bisa dibaca berdiri sendiri seperti waktu saya masih awal-awal menjadi mahasiswa. Itu hanya akan menambah beban hidup.

Ketiga, pengalaman membaca. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak menimba ilmu, semakin banyak mendengar, semakin banyak pengalaman, semakin banyak pengetahuan, pembacaan ulang terhadap suatu teks akhirnya menemukan perbedaan. Bisa jadi, beberapa tahun lalu kita tidak paham dengan buku itu. Sekarang, ketika di baca ulang, baru bisa memahaminya.

Keempat, lebih baik kalau kita bisa menuntaskan beberapa urutan kitab yang ditulis. Karena Imam al-Ghazali memang menuliskan judul-judul selanjutnya yang perlu dibaca di dalam Tahafut. Setelah membaca Tahafut, Imam al-Ghazali menulis Mi’yar al-‘ilm (diterjemahkan Diva: Ilmu Mantik), sebagai standar ilmu. Kemudian al-Ghazali menulis kitab lagi, untuk mengokohkan akidah, yakni Al-Iqtishad fi al-i’tiqad (diterjemahkan Diva: Moderasi dalam Berakidah).

***

Adapun isi Tahafut ini ada 20 kritik yang dilayangkan. Tiga diantaranya bisa masuk kategori kekufuran. (1) Masalah eternitas alam (qidam al-‘alam), dengan pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa semua substansi kekal (qadim). (2) Pengetahuan Tuhan tidak meliputi objek-objek partikular-temporal. (3) Penolakan terhadap peristiwa kebangkitan tubuh setelah kematian dan dikumpulkannya di akhirat.

Jadi, menurut saya pribadi, Tahafut jangan dibaca berdiri sendiri. Lalu, posisikan bahwa Imam al-Ghazali ini adalah seorang ulama berakidah Asy’ari, sehingga kita akan melihat lebih jernih persoalan ini (ihwal filsafat dan tuduhan mengenai kemunduran umat).

~ Viki Adi N

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *