Beberapa kali saya melihat utas atau postingan orang yang mengatakan kalau membaca buku-buku motivasi atau self improvement (kita akan menyebut buku motivasi pada paragraf-paragraf berikut) pada akhirnya berujung membosankan dan isinya itu-itu saja. Ketawa kecil. Itu respons saya pribadi.
Banyak kemungkinan yang terjadi di sini.
Pertama, buku bertema motivasi itu jatuh pada tangan yang tidak tepat. Suatu buku pasti memiliki tema yang spesifik untuk target pembaca yang spesifik. Jika kita bukan target utama dari buku itu ditulis, maka jelas sekali tidak akan pernah mengena.
Kedua, dari bagian isinya. Memang, jika suatu penerbit orientasinya terlalu industri, isi buku kerap hanya menyasar tema yang sedang tren atau populer. Sehingga, isi buku lebih menitikberatkan pada kebutuhan pasar (yang biasanya berubah berganti begitu cepat) tanpa melihat sisi-sisi terdalam dari bagaimana “curahan emosi” tulisan (secara pribadi/individualitas) mampu menghidupkan para pembacanya. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa buku yang lahir hanya “formal” belaka; menghimpun kisah populer, kisah mashyur, menulis kalimat bijaksana, mengutip buku-buku terkenal dari penulis terkenal, dan semacamnya.
Ketiga, dari segi ide hingga data. Akan sangat membosankan kalau ide yang dibawa secara spesifik itu-itu saja tanpa ada sesuatu yang baru, termasuk dalam segi teknis: data-data terbaru. Ambil contoh buku tentang kecemasan. Sudah begitu banyak buku tentang ini ditulis. Setiap tahun ada saja judul barunya muncul. Namun, tanpa ada pembaruan data, misalnya kisah yang ditampilkan adalah kisah mashyur, tentu ini bikin pembaca males. Apalagi jika isinya banyak kutipan dari literatur-literatur terkenal.
Saya pernah membaca buku berjudul GRIT karya Angela Duckworth; yang sebenarnya soal kegigihan, soal bakat, semuanya telah saya mengerti. Namun, karena buku ini menampilkan sisi individualitas dari penulis, lalu menampilkan riset-risetnya yang menarik, alhasil buku ini mengena bagi saya. Saya menganggap buku ini memiliki kebaruan dan kesegaran, meski tema serupa sering saya baca di buku-buku Islam yang lebih sering say abaca atau koleksi.
Lalu, mengapa buku-buku motivasi masih saja laku walau banyak ide-ide yang ditulis sama? Ya, tak lain tak bukan karena ada pembaruan data. Ada kisah-kisah baru. Ada riset-riset baru. Ada ide segar baru yang ternyata bisa mengubah pola pikir sebelumnya. Bahkan, terkadang ada peristilahan baru dengan definisi yang sedikit berbeda. Dan lain sebagainya.
Sayang sekali memang, industri buku, sekali lagi, kerap mengacaukan sisi-sisi terdalam hal semacam itu. Tak dapat dipungkiri soal target penjualan atau hanya sekadar untuk memenuhi operasional. Namun, itulah yang kini menyebabkan para pembaca pada akhirnya merasa bosan atau kerap mengeluh soal ini.
Saya beberapa kali menemukan buku-buku motivasi yang isinya seperti telah saya sebutkan. Perulangan kisah populer, data sudah usang, hingga tak menyentuh sisi emosi tanpa pernah menyebut atau menunjuk sisi individualitas penulis. Terasa sekali itu hanya mengambil dari buku-buku lain. Bahkan, saya bisa menganalisis ini diambil dari buku mana, buku itu, dan seterusnya.
Apa itu salah? Secara kepenulisan itu dibenarkan. Sayang sekali, itulah yang kerap membuat pembaca akhirnya kerap menertawakan buku bertema motivasi atau bahkan seperti topik tulisan ini: membosankan!
Hebatnya, buku-buku itu berjajar menjadi buku laris di marketplace. Hal ini membuat kita beralih analisis lagi. Loh, kok bisa? Selain strategi marketing, tentu saja patut diduga bahwa pembaca-pembaca tersebut bukanlah pembaca buku “babon” atau literatur-literatur ahli. Namun, tak mengapa. Meski isinya bak formal, pembaca tetaplah mendapat manfaat dari buku tersebut. Saya yakin, semakin mereka membaca lebih banyak, semakin juga mereka akan mengakses banyak buku-buku induk lainnya.
Terlepas dari “kontroversi” dan “keluhan” itu, nyatanya buku motivasi tetaplah bisa memotivasi mereka, sesiapa saja yang memang menjadi targetnya.
Selamat membaca buku di akhir pekan. Selamat menjalankan ibadah puasa.
Viki Adi Nugroho