Beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam waktu-waktu ini. Penting atau tidak penting, tentu ini perspektif pribadi, yang bisa saja berbeda dari pendapat orang lain.
Pertama, soal harga buku. Buku makin kesini memang naik harganya, tetapi jika kita mau menelusuri ruang-ruang yang berbeda, kerap ditemui (bahkan banyak) buku-buku yang harganya turun drastis. Nominalnya bisa tembus hingga sepuluh ribu. Ada juga yang sampai tiga ribu. Buku original? Pastinya. Namun, jika berbelanja online, memastikan bahwa buku original itu wajib. Kenapa masih buku? Terlepas dari industri buku yang kian pragmatis dan sebut saja “kapitalis”, buku masih bisa diandalkan untuk menambah pengetahuan, agar kita tidak bebal dan minimal bisa menyaingi wapres Indonesia. Siapa tahu, di pemilu selanjutnya, kalian yang akan dipilih menjadi wapres di bawah empat puluh tahun.
Kedua, soal mistik. Mistik di dalam Islam memang ada. Meski banyak hal yang bisa dirasionalisasi, tetapi dimensi mistik itu juga tak sedikit. Dimensi ini tak dapat dihilangkan. Jika dimensi yang sifatnya spiritualitas ini dihapus, atau orang saat ini tidak mau mengakuinya, ini sama saja tidak mengakui sebagian dari agamanya sendiri. Hal-hal yang tidak bisa dilihat mata secara langsung misalnya, dimensi ini jelas tak bisa ditolak. Jika ditolak, sama saja mengingkari yang wajib kita imani. Soal kenabian, mukjizat, hingga karomah, juga hal yang sebenarnya tak bisa ditolak. Sayangnya, cerita-cerita di luar nalar itu, khususnya karomah, kerap dibawakan dengan tendensi yang buruk (misalnya karena soal penghormatan, dan semacamnya, sehingga identik dengan dusta) atau karena bukan pada tempatnya. Sehingga, hal-hal semacam ini menjadi pergunjingan yang luar biasa. Memang bagus, banyak kritik yang terus mengalir dari muda-mudi saat ini terhadap kelompok-kelompok tertentu. Sikap semacam ini akhirnya membawa kita pada hal berikutnya.
Ketiga, soal pikiran. Orang saat ini benar-benar menggandrungi hal yang serba rasional. Naiknya minat terhadap filsafat, diiringi dengan penerjemahan buku-buku filsafat yang semakin banyak, telah membuat muda-mudi dewasa ini lebih memercayai hal-hal yang serba masuk akal, serba rasional. Tak masalah, tak ada yang keliru. Persoalannya adalah, tidak semua dimensi di dalam Islam itu serba rasional, ada aspek-aspek yang sangat spiritual (meminjal istilah al-Attas: supra-rasional) yang memang wajib diikuti. Misalnya, syariat mengatakan begitu. Ya, harus begitu. Bagaimanapun manusia mencoba meneliti atau menginterpretasi, semuanya adalah kemungkinan. Misalnya, penelitian seorang dokter menunjukkan bahwa gerakan ini, dalam ibadah tertentu, menyehatkan bagi tubuh bagian ini dan itu. Meski didukung bukti ilmiah, tetapi itu adalah “kemungkinan” dari tinjauan “tujuan” Tuhan menurunkan syariat tersebut. Tak ada yang tahu, begitu ya harus begitu.
Untungnya, dan ini yang keempat, dengan naiknya tren yang serba-rasional ini, semoga saja masyarakat kita ke depan akan tumbuh dengan bernalar kritis. Meski sayangnya, ajang politik lima tahunan kerap memanfaatkan kemiskinan yang melanda untuk melanggengkan kebodohan, kekuasaan, dan membeli nalar-nalar yang sempat menyala tersebut. []
Viki Adi N