Ungkapan dari bait-bait Imam Syafii sudah begitu familiar kita dengar. Ilmu perlu diikat. Dengan apa? Tulisan. Ini sudah jadi semacam aturan bagi para pelajar. Tiap orang mungkin akan memberi makna pada pesan tersebut dengan berbagai macam hal.
Di tulisan yang amat ringkas, saya ingin berbagii sedikit soal ini. Barangkali, pemaknaan yang akan saya tulis agak berbeda. Satu tips saja, tetapi semoga ini bisa bermanfaat bagi kita, terutama bagi yang ketika membaca buku, kerap menghadapi kondisi yang sulit untuk memahaminya.
Saat ini, kita sedang melahap buku. Namun, tak kunjung usai. Kepala pening, lalu bimbang apakah akan melanjutkan membacanya, atau berganti saja ke buku yang lain.
Berdasarkan pengalaman, jika saya menghadapi masalah ini, hal yang perlu dilakukan adalah menulisnya. Kenapa jadi menulis? Bukankah kita sedang membaca?
Perlu dicatat, menulis yang dimaksud adalah menulis dengan kesadaran dan konstentrasi penuh. Sadar atau tidak, dengan menulis, kita sebenarnya sedang dilatih untuk menguasai tema tersebut. Saat kita diberi tugas oleh seorang guru atau dosen untuk menuliskan topik atau materi tertentu, lalu diminta menjelaskan ke teman sekelas, sebenarnya kita sedang melakukan hal tersebut: menulis dengan kesadaran dan konsentrasi penuh.
Awalnya, kita merasa belum paham, bahkan bingung. Namun, ketika sudah menuliskannya, kita akan berusaha untuk memahaminya lebih jauh lagi. Kalau masih bingung, kita akan coba merujuk ke apa pun yang bisa turut membantu. Bisa membaca tulisan orang di situs yang berhubungan, bisa tanya orang lain, diskusi, membaca buku yang berhubungan, dan seterusnya. Inilah yang dimaksud kesadaran dan konsentrasi penuh tadi. Jadi, menulis bisa dikatakan sebagai pintu masuknya.
Akhirnya, buku menjadi wahana menarik untuk membuka banyak gerbang pengetahuan lainnya, yang saling bertalian. Memang, ini seperti kerja dua kali. Yang seharusnya hanya membaca, lalu selesai, nyatanya, justru banyak sekali langkah yang harus dilakukan, selain mengikat dengan menulis tadi.
Akan tetapi, nikmatnya ada di situ. Proses pencarian itu sungguh menarik. Apa menariknya? Ini hanya bisa dirasakan kalau kita mengalaminya sendiri. Jadi? Ya, coba lakukan saja.
Kisah yang begitu masyhur, saya yakin kita semua sudah pernah mendengarnya, mungkin ini bisa memotivasi kita, bahwa Ibnu Sina sudah membaca buku Aristoteles berulang-ulang hingga 40 kali, tapi tak bisa memahaminya. Sampai ketika ia berjalan di pasar, dan hampir saja berputus asa untuk meninggalkan apa yang sedang dipelajarinya, tetiba saja ia dipaksa oleh penjual untuk membeli dagangan berupa bukunya. Tak disangka, buku karya al-Farabi yang dibelinya dengan keterpaksaan itu justru yang mengantarkannya memahami apa maksud buku Aristoteles. Dari situlah, ia kemudian bisa menuliskan pikiran-pikiran filosofisnya.
Proses Ibnu Sina sampai mengulang, lalu bertemu buku lain sebagai “penjelas” adalah proses rumit yang sebenarnya bagian dari yang sedang kita bahas. Ini bagian dari prosesi “mengikat” tadi.
Sebelum kita akhiri tulisan ini, saya ingin sedikit bercerita. Ketika saya mempelajari pemikiran filsafat al-Kindi, saya coba membaca bukunya. Apakah langsung paham? Tidak. Saya justru melanglang ke mana-mana, sampai akhirnya saya membuat tulisan, lalu menambah banyak bahan lain, dan seterusnya sampai akhirnya tulisan-tulisan itu berserakan. Dan, tulisan-tulisan itu, kini telah jadi buku.
Semoga tips ini bermanfaat. Selamat membaca buku di akhir pekan, dan jangan lupa menulis. []
Viki Adi N